Wednesday, December 3, 2014

Happy

D : Why did you let me leave you, just after 29 days of our marriage, for study in Australia?
G : Because I know that pursuing higher education has become your dream for a long time.
      And seeing you happy makes me happy.
D : *berkaca-kaca*
      But isn't it hard to live separately like this?
G : The good thing is... we learn to be more patient persons :)

Recalling this conversation reminds me that I am here to chase my dream, to be happy, whatever the results are. Thank's heaps, you, for teaching me about being happy and giving me so much happiness.

I LOVE YOU, to the moon back and forth 999,999 million times.

Sunday, November 16, 2014

Sepi

Di dunia ini ada hal-hal yang tak bisa dikatakan. Tersangkut di kerongkongan. Berhenti di ujung lidah.

Penyebabnya bisa jadi banyak hal. Salah satunya karena kurang keberanian. Atau keinginan untuk tidak menyakiti. Padahal dengan tidak mengatakannya, justru melukai diri sendiri.

Ah.

Jika sudah begini, hambar adalah rasa yang ingin dikejar. Sehingga hal yang tak bisa dikatakan tidak lagi menjadi pikiran.

Atau tidur selama mungkin dan bermimpi mengatakan hal yang tidak bisa dikatakan dalam kenyataan. Bangun-bangun rasanya sudah lega, tak ada lagi beban.

Pengecut, bukan?

Aku kesepian.

Dan perkataan itu hanya tertulis di secarik kertas yang berakhir di kolong meja.

Lalu dunia entah mengapa terlihat lebih berwarna.

Sunday, October 19, 2014

inagurasi

dua puluh oktober dua ribu empat belas

ucapkan selamat datang pada siang-siang penuh kerja keras
sembari menyambut malam-malam dimana mata terpejam tapi otak terus diperas

jangan kira kami berdiam diri
jangan macam-macam, hanya itu pesan kami

janji segera diucapkan
amanat semoga ditunaikan

Canberra, 20 Oktober 2014

Wednesday, October 15, 2014

Lelah

Mungkin aku sedang lelah dengan tujuan-tujuan ambisius: "Pasangan yang bisa membawa kita lebih dekat padaNya", atau "Pasangan yang kita gandeng sampai surga".

Bukan berarti aku tidak ingin. 

Tapi aku butuh kau. Sekarang. Duduk di sebelahku, seraya berkata "Ini teh dengan sedikit gula." Lalu kau menatapku lamat-lamat. Sambil memegang tanganku kemudian kau bilang, "Semua baik-baik saja," dengan nirsuara.  

Dan dalam sepersekian detik, keabadian menghampiri. 



Canberra, 16 Oktober 2014

Saturday, August 2, 2014

Suatu hari di Bulan Agustus

Aku ingat ini hari pernikahanmu. Tapi aku sengaja tak menghubungimu, setelah semalam kau kuganggu dengan video Koka Kola itu. HAHAHA. Semoga semalam kamu tidak mimpi buruk :D 

Ketidakmampuanku hadir di hari bahagiamu, membuatku mengenang ratusan kilometer perjalanan kita. Dengan sepeda motor. Taksi. Kereta. Bajaj. Dan tentu saja metromini dan angkutan kota Jakarta yang kau hafal mati rutenya (oke aku berlebihan). Aku masih ingat perjalanan pertama kita berdua. Kalo tidak salah ke Pantai Depok, Yogyakarta, tempat kita tumbuh bersama. Mungkin itu pertama kalinya kita bicara panjang lebar tentang diri masing-masing. Setelah itu kita seperti berjanji, akan melakukan perjalanan-perjalanan selanjutnya.

Benar saja. Takdir kehidupan membuat kita bertemu lagi di Jakarta. Di kota yang sama-sama kita maki. Sekaligus kita rindui. Tempat kita dewasa bersama. Aku masih ingat betul, malam-malam panjang diisi dengan curhat soal pekerjaan. Soal  kawan sejawat. Soal keluarga. Soal orang-orang yang datang lalu pergi sesuka hati mereka. Juga tentang orang-orang yang terus tinggal dalam hati kita.

Kita mungkin jarang bertemu. Tapi kita tahu, kita selalu ada untuk satu sama lain, dalam jeda waktu bertemu sepanjang apapun. Dalam kediaman selama apapun. Setelah hari ini, insha Allah, kita dipertemukan kembali dalam perjalanan-perjalanan lain. Mungkin juga dengan tambahan teman seperjalanan (if you know what I mean haha).


Pada suatu hari di bulan Agustus kau telah menggenapi setengah dien-mu. Beruntungnya ia yang berhasil menempatkanmu disampingnya. Semoga kalian terus bahagia!

Canberra, di tengah suhu 0celcius. 

Petualangan Dinci dan Wiwiw :D

Sunday, July 27, 2014

Alumnus Ramadhan

Malam 1 Syawal  1435 H.

Tahun ini tidak mudik seperti yang sudah-sudah. Saya memilih bertahan di Canberra karena sudah masuk minggu kuliah. Mungkin ini Idul Fitri paling sunyi yang pernah saya lewati. Entah di masa depan bagaimana. Jangan-jangan ini masih belum seberapa.

Di Australia tidak ada takbir keliling. Sahut-sahutan takbir dari masjid atau mushalla saja tidak ada. Jangankan takbiran, adzan pun tak pernah terdengar. Tapi saya tetap bersyukur, di acara buka puasa di rumah Mbak Fina dan Mas Ulil tadi, jamaah pria selepas maghrib mengumandangkan takbir selayaknya malam 1 Syawal meskipun sebentar. Takbiran yang singkat itu berhasil membuat saya terdiam. Dan sekarang saya menangis.

Saya memang pura-pura kuat.

Sejak kemarin saya menyebalkan. Cepat sekali emosi. Yang jadi korban adalah suami saya, orang yang paling sering saya ajak bicara. Tentang hal yang penting, dan terlebih tentang hal yang kurang penting. Dalam 3 hari, saya sudah 2 kali adu mulut dengannya. Akibat kekeraskepalaan saya. Akibat perilaku saya yang defensif. Akibat kesedihan yang gagal saya terjemahkan dengan baik.

Saya tahu ini “cuma” Idul Fitri. Saya jadi ingat bahwa Papa dan Mama sudah berkali-kali tidak pulang menemui orang tua mereka (ketika masih hidup) ketika Idul Fitri karena satu dan lain hal. Sekarang adalah giliran saya. Maka seharusnya saya tak perlu merasa sedih begitu rupa. Bukankah mengalami semua sendirian adalah salah satu inti merantau? Dan sebagai orang yang mengklaim dirinya perantau, tak seharusnya saya defensif yang akhirnya malah  terekspresi dalam sikap emosional tak tepat waktu dan tak tepat sasaran.

Jujur, selain kesedihan melewati Idul Fitri sendirian, ini juga merupakan saat terlemah saya.

Nilai semester lalu yang kurang memuaskan membuat saya gamang dalam melangkah, dan merasakan semua seperti dalam keadaan hampir koma. Setengah sadar. Kaki saya belum bisa berpijak di tanah dengan baik. Muncul pertanyaan-pertanyaan  dalam kepala. Apakah saya mampu? Dan lebih penting, apakah saya pantas?

Saya kembali ke Canberra dengan sebuah beban besar di pundak, bahwa saya harus bisa menyelesaikan studi dengan baik, sebagaimana rencana awal, 2 tahun dengan riset. Tapi semakin keras saya berpikir bagaimana caranya, semakin kencang satu jawaban bergema dalam kepala saya, “Lakukan yang terbaik yang kamu bisa!” Kalaupun saya tidak berhasil, ya sudahlah. Itu adalah proses yang harus saya terima.

Saya memang bukan ‘lulusan’ Ramadhan yang terbaik. Shalat tarawih tak lengkap. Tilawah kurang istiqomah. Tapi saat ini saya paham, bahwa Ramadhan yang terbaik adalah Ramadhan yang menghasilkan semangat untuk selalu berikhtiar memperbaiki diri di bulan-bulan setelahnya. Memperbaiki diri dalam ibadah, juga dalam studi.

Mungkin saya bukanlah “lulusan terbaik” Ramadhan. Tapi semoga saya bisa menjadi salah satu “alumnus yang baik” dari bulan Ramadhan.

Saya pamit dulu, mau menelepon suami untuk minta maaf :)

Semoga kita bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Taqaballahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Idul Fitri 1435 H.

Canberra, 27 Juli 2014


Thursday, June 26, 2014

Jarak 2

Ketika ia hadir begitu nyata, kau berusaha untuk membunuhnya.

Saat ini ia telah mati suri.
Tapi jangan lupa ada seorang anak haram dari ibu bernama 'jarak', yang kau panggil dia 'abai'.

Dan 'abai' telah berhasil merobek-robek jiwamu yang terlanjur senang atas kematian 'jarak'.
'Abai' bahkan lebih kejam dari 'jarak'. Kau dekat satu sama lain tapi tak saling acuh.

Di antara kepingan hancurnya jiwamu atas perbuatan 'abai', jangan kau lupa bahwa 'jarak' hanya mati suri.

Sebentar lagi ia akan bangkit kembali.

Saturday, May 31, 2014

Rindu di Tengah Hujan

 HUJAN DI BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan di bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon yang berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Djoko Damono, 1989

Canberra dibasahi hujan di akhir musim gugur © 2014 Dini Suryani

Mendung menggantung sejak pagi di langit Canberra. Tak kudengar suara hujan, tiba-tiba kulihat keluar jendela jalanan sudah basah. Mungkin langit Canberra tahu ini adalah saat yang tepat untuk merayakan kerinduan pada orang-orang terkasih yang sekarang tidak (atau belum) bisa ditemui.

Mungkin itu pula yang dirasakan hujan dalam Hujan di Bulan Juni milik Sapardi. Dia memilih untuk merahasiakan rasa rindu. Baginya mungkin sebaiknya rindu tidak ditampakkan, karena menampakkan rindu tak selalu menjadi sebaik-baiknya pilihan. Aku hanya bisa berharap semoga ia tetap tabah, seperti yang sudah-sudah.

***

Bagi perantau seperti aku, rindu layaknya oksigen yang dihirup paru-paru. Sebuah keharusan dan keniscayaan. Kurang rindu perantau lemah. Tak ada rindu perantau mati.

Meski sekarang hati perantau telah porak poranda disiksa rindu, namun rindu itu pula yang membuat perantau bertahan, menanti dengan tegar akan datangnya hari pertemuan.


Sayang, pekan depan aku pulang. 

Canberra, 1 Juni 2014

Saturday, May 24, 2014

The Story of "Little People" in Indonesian Elections

*Tulisan ini dimuat juga di website The Indonesianists pada tanggal 24 Mei 2014.

Legislative election has been recently completed. Political elites are now busily preparing themselves for the presidential election this July. While all eyes stick to the presidential election, this article is about to tell that democracy is not only belong to the elites, but also involved “little people” and one of the is Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) or voting organizer group. KPPS have crucial role to determine whether the election become a success.

KPPS could be seen as key actors in “street level” politics in Indonesian electoral system, besides large institutions such as Komisi Pemilihan Umum (KPU) and political parties at the higher level. Their presence is essential to determine the integrity of the election as whole, because votes in general election calculated from each Tempat Pemungutan Suara (TPS) or polling stations that run by KPPS.

Tracing back the history of election in Indonesia, we could learn that the use of ad-hoc groups for organizing elections at the lowest level had been the case since the first election in 1955. Herbert Feith (1999) notes that the 1955 election was organized at the grassroots by Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara (PPPS) or the voting organizing committee, which consisted of 15 people for each Tempat Pemungutan Suara (TPS) or polling station. This committee consisted mainly ofvillage officials which were assisted by 3-5 persons known as Pembantu Keamanan Pemungutan Suara (PKPS) or voting security assistants. Interestingly, different from the current election, members of PPPS and PKPS could come from political parties. Although some PPPS and PKPS members were also members of political parties, they were able to demonstrate independent attitude, which resulted in the high degree of fairness and freedom of the 1955 election.

In the New Order, the organizing group for election at the lowest level also called KPPS since its first election in 1971, the same name as today. In carrying out elections, William Liddle (1992) mentioned that the New Order government manipulated all of the election institutions, including KPPS, to win Golkar. A study by Irwan and Adriana in 1995 found more than 82.5 per cent (510 of 618 cases) electoral fraud was committed by member of KPPS (Hidayat 2003). Instead of being resulted from KPPS’ own willingness to support Golkar, the fraud was allegedly caused by the threat of army soldiers who were assigned to monitor election at the village level. Members of KPPS in New Order could be interrogated by the army just because they were joking for not support Golkar.

Photo 1. President Suharto visited a TPS in Jakarta in 1971 Election (Source: Arsip Nasional RI)

What about KPPS since Reformasi era, specifically during the 2014 election? According to KPU Decree No 3/2013, the KPPS consists of seven persons from the community who manage elections in each TPS. KPPS members are assisted by two other people also from the community who serve as security officers in TPS. These people should be non-partisan. KPPS members derived from the names suggested by village officials. This membership mechanism is actually problematic because providing large authority to village officials in appointing KPPS members can provide some opportunity for nepotism. There were 545,803 TPS in the 2014 legislative election, which means that more than 3 million Indonesians were involved as KPPS in the election throughout the country. Their duties are among others, to execute voting and vote counting at polling stations, to secure the integrity of the ballot boxes after the vote count and after the ballot boxes sealed and to fill in recapitulation reports of vote counting results. These are not easy tasks and very time consuming.

Mardirahardjo (65), father of my colleague, Septi, is one of the members of KPPS in TPS 21 RW 17, Prawirodirjan, Gondomanan sub-district, Yogyakarta. He went home at 06.00 am on Thursday (10/4), after working since 7am the previous day. His TPS is a big one (433 voters, where there is a cap on 500 per TPS) Moreover, because of the open list system, the task of counting votes has become more arduous as members have to count the votes for political party as well as votes for candidates from each party. Since the day of election, Mardirahardjo suffered from a respiratory problem due to fatigue. In West Sumatera, Lampung and Bengkulu some KPPS members died allegedly due to the exhaustion of vote counting (Antaranews.com 10/4).

KPPS members get paid for their service, but it is only around Rp 300,000- Rp 450,000 for work that requires weeks of commitment. In Nunukan of North Kalimantan, KPPS members withdrew from their duties in protest at the small wage they received. In Ende of East Nusa Tenggara province, KPPS members held the ballot boxes hostage as they waited for the payment of their honorariums from the KPU (Tribunnews.com 30/3). Despite those incicents, most KPPS members are not concerned about this small fee and seeing it as a form of service to the country.

With that low honorarium, many committees have taken on the initiative to encourage citizens to vote. In Bandung and other places, KPPS members dressed up and built unique structures of the TPS to attract people to exercise their voting rights. Most of these KPPS raised the funds from the community themselves as the KPU only provided Rp 750,000 (around US $ 75) per TPS.
Photo 2. Chinese-costumed KPPS members in one of TPS in Bandung (Source: detik.com)
Unfortunately, some members of KPPS were committed election fraud . Since KPPS members had direct access to ballots and votes recapitulation report, KPPS membership is prone to misuse. In Maluku and South Sumatra Provinces, the Election Monitoring Agency (Bawaslu) uncovered fraud and recommended a re-vote. The fraud usually related to the manipulation of voting resuts to one party or legislative candidate in a TPS. In a polling station in Boyolali of Central Java Provice for instance, 70 per cent of the ballots was allegedly manipulated by the KPPS members. In addition, the villagers were also intimidated by village officials and one member of KPPS to give their votes to a candidate from Partai Demokrat (Solopos.com 17/4). As retaliation, KPPS members who were “helpful” to manipulate the votes, got some money from the party or candidate.

Regardless of the frauds committed by some KPPS members, the active involvement of citizens in the election portrayed a clear picture that the Indonesian democracy is not only run by the political elites. KPPS, which is the lowest level of election apparatus, have played important role in determining the quality of election. They carried out difficult and complex election procedures, with huge risk and small compensation. In future, there should be more appreciation to these “little people”, who are undoubtedly significant democratic players. Honorarium reward to them must be adjusted in order to “professionalize” KPPS. More broadly, the high quality of election requires more modern and mature procedure. Without significant revitalization of election system and procedure, we cannot hope for more clean, free and fair election.

Dini Suryani
A Master of Asia-Pacific Studies student at the Australian National University

Thursday, May 8, 2014

Rumah

Berapa gelintir dari manusia di muka bumi ini menghabiskan waktu berkeliling dunia hanya untuk mencari ‘rumah’?
Mungkin sepuluh. Seratus. Satu juta. Sepuluh juta.
Mungkin salah satu di antaranya adalah kamu?
Rumah macam apa sesungguhnya yang kamu cari itu, yang membuatmu menghabiskan hampir seperempat usia hidup?
Bisa jadi rumah megah. Bisa pula hanya sebuah pondok sederhana.
Bisa pula hanya beralaskan rumput, beratapkan langit.

Dunia ini telah menuntut banyak hal dari dirimu. Mengharuskanmu menjadi ini dan itu. Kau turuti susah payah. Kadang sekedar berpeluh, sesekali penuh darah.
Rumah selalu berhasil membuatmu menanggalkan sejenak ke(pura-pura)perkasaan yang sudah sekian lama kau taruh di pundak. Merenggangkan otot-otot ego. Melepaskan hati yang sedari tadi gulana.
Di rumah, kau kembali menjadi dirimu. Tidak ingin menjadi ini dan itu. Hanya menjadi dirimu. Menikmati waktu yang semakin pendek.  Dan menikmati butiran air mata yang tak pernah kau jatuhkan di dunia luar sana.
Maka wajar bagi sepuluh, seratus, satu juta, sepuluh juta manusia bertekad menemukan rumahnya masing-masing. 
My home is you (Source: watcha-ahc.tumblr.com)

Dan dengan gembira aku umumkan, aku sudah menemukan rumah itu. Rumah yang selalu bisa aku pulangi tanpa merasa bosan melihat airmataku, dan tanpa mengkritisi kelemahanku. Rumah yang selalu kurindukan untuk kupulangi, karena ia telah menerima apa adanya diriku, sebelum aku menerima apa adanya diriku sendiri.

Bagi sepuluh, seratus, satu juta, sepuluh juta yang belum, teruslah mencari. Kau pasti menemukannya.  



Friday, May 2, 2014

Melupakan untuk Mengingat

Kau selalu merasa bahwa mudah lupa adalah sebuah kelebihan. Secara tidak sengaja kau lupa pada hal-hal yang memang sudah semestinya tak perlu kau ingat. Lalu menjadikan hal itu tak berkesan di matamu. Tak ada artinya di hatimu.

Tapi di tengah kemudahan lupa, kau harus tetap ingat, bahwa ingatan memiliki aturannya sendiri. Dengan egoisnya dia bisa juga memilih kenangan dan peristiwa masa lalu untuk diingat dengan intepretasinya sendiri, tanpa mau berkompromi denganmu. Ia melupakan hal yang ingin kau ingat, dan mengingat hal yang ingin kau lupakan.

Dan meskipun kau betul-betul mudah lupa, kau sering lengah. Bahwa melupakan bukan berarti hilang ingatan. Selalu saja ada serpihan kenangan tinggal di sudut-sudut kepala. Selalu saja ada potongan masa lalu yang menolak beranjak dari lapis terdalam perasaan. Di sela-sela perjalananmu, serpihan kenangan dan potongan masa lalu seringkali mampir tanpa mempertimbangkan situasi hati.


Dalam persinggahan kenangan dan masa lalu itu, terkadang kau tak merasa apa-apa. Tapi tak jarang serpihan dan potongan itu memaksamu berhenti berjalan, entah lama, entah sebentar. Membuatmu berpikir keras, haruskah kau terus berjalan ke depan, atau berbalik arah dan mengambil satu persatu serpihan juga kenangan yang sebetulnya kau ingin kubur dalam-dalam. Mengambilnya untuk membuangnya ke tempat yang seharusnya. Atau bisa juga mengambilnya untuk kembali menyimpannya.

Kau merasa kenangan dan masa lalu itu terus menyakitimu. Mengobrak-abrik hatimu. Menggarami lukamu yang menganga. Lalu kau memutuskan untuk menyerah. Kau memasrahkan semuanya pada ingatanmu yang egois itu.

Di tengah-tengah kepasrahanmu, perlahan kau menyadari, bahwa kenangan dan masa lalu itu bagian dari dirimu. Merekalah yang mengukir jiwamu. Menempa hatimu. Mengokohkan perasaanmu. Membentuk dirimu.

Kemudian kau memutuskan untuk berjalan ke depan. Tetapi dengan menggenggam kenangan di tangan kiri dan mendekap masa lalu di tangan kanan. Airmata yang sejak tadi kau kendalikan, kali ini tidak bisa menahan dirinya untuk merayakan kepasrahan ini bersamamu.

Tapi kau yakin itu bukanlah kesedihan. Itu adalah keberanian.

Forget to Remember (Source: sportsgeezer.com)

Sunday, April 27, 2014

Maaf dan Terima Kasih

"Pada kesempatan kali ini saya hanya ingin menyampaikan permohonan maaf dan terima kasih yang tak terhingga kepada yang dia yang telah menggenggam tangan ayah saya untuk menikahi saya dan menandatangani perjanjian Sighat Taklik yang ada nama saya di dalamnya.

Maaf jika saya telah banyak berbuat salah. Semoga Allah tidak henti memberikan rahmatNya kepada saya untuk menjadi manusia yang terus memperbaiki diri.

Juga, terima kasih telah memilih saya dan berbuat baik pada saya. Terima kasih pula telah mempercayai saya dengan sebaik-baiknya percaya.

Dini-Gery's Engagement Ceremony in Jakarta, 5 January 2013.
© 2013 Fatmawati Mulyadi 

Monday, April 21, 2014

Kebaya di Hari Kartini

April 1992-1998

Apa yang paling identik dengan 21 April? Hari Kartini tentu saja. Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, beberapa sekolah menyunnahkan (bukan mewajibkan hihi) kami murid-murid perempuan memakai baju daerah. Apapun itu. Bisa kebaya, baju bodo, baju kurung. Terserah, yang penting baju daerah. Saya? Seingat saya, tidak setiap tahun saya memakainya. Bukan karena apa-apa, tetapi mama saya tidak akan mau repot-repot menyewakan saya dan kakak baju daerah dari salon karena harganya mahal.

Saya bingung waktu itu. Mengapa mama begitu ‘pelit’. Kami bukan dari keluarga yang kurang mampu. Alhamdulillah semua berkecukupan. Tapi mama begitu ketat dalam memilih dan memilah, kebutuhan mana yang prioritas dan bukan prioritas. Tentu menyewa baju kebaya setiap Hari Kartini bukan termasuk kebutuhan yang prioritas. Ada rasa iri saya pada teman-teman yang orang tuanya niat mendandani anaknya dengan kebaya dan baju daerah warna-warni lengkap dengan sanggul dan sepatu hak tingginya. 

Saya ingat betul, ketika kalender di ruang makan yang semula adalah kalender 1997 diganti menjadi 1998 karena pergantian tahun, saya jadi sulit tidur. Setiap hari saya melihat kalender itu. Bukan melihat tanggal atau bulannya, tetapi melihat gambar model yang menghiasi di setiap halamannya. Gambar model wanita cantik dengan baju daerah dari 12 daerah di seluruh Indonesia. Saya paling tertarik dengan halaman bulan Januari, karena Diah Permatasari (iya Diah yang jadi Si Manis Jembatan Ancol :D) memakai baju adat Aceh.  Alasan saya sederhana saja, baju adat Aceh yang saya lihat waktu itu memakai celana panjang, berbeda dengan baju adat lain yang harus memakai rok sempit-sempit. Pasti susah jalannya, pikir saya waktu itu.

Hari berganti, bulan terlewati. Sudah bulan April, tak ada tanda Mama akan menyewakan baju daerah padahal sebentar lagi Hari Kartini. Saya tidak berani bertanya, karena sudah menduga bahwa jawabannya pasti tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tapi saya tidak pernah bosan melihat baju adat Aceh di bulan Januari, dan membayangkan apabila saya bisa memakainya di Hari Kartini di sekolah. Membayangkannya saja waktu itu seingat saya, saya cukup merasa bahagia. Sederhana sekali ya? :D

Maret- April 2005.

Akhir kelas 3 SMA. Bulan depan Hari Kartini, tapi saya sudah tak bernafsu lagi soal kebaya-kebaya seperti waktu jaman SD dulu, meski tetap ada keinginan memakai kebaya yang "niat". Saya lebih fokus ke ujian akhir. Nilai tryout yang kurang begitu memuaskan membuat saya tak lagi pusing soal kebaya di Hari Kartini. Hingga wali kelas menunjuk saya menjadi wakil kelas untuk ikut lomba pidato tentang perempuan di Hari Kartini. Saya tak bisa menolak, dan yang menjengkelkan (atau menyenangkan) peserta lomba pidato diwajibkan memakai baju daerah lengkap. Sepanjang pulang ke rumah saya sibuk berpikir, apa yang harus saya katakan pada Mama mengenai ini? Masih sebulan lagi, sih.

Sampai di rumah, Mama menceritakan rencana keluarga untuk belanja di Samarinda. Kota kecil Sangatta memang kurang pas buat belanja-belanja. Selain harganya mahal, juga tak banyak pilihan. Keluarga kami memang biasanya setiap bulan ke Samarinda untuk membeli kebutuhan sekunder (seperti perabot rumah tangga dan printilan lainnya). Sesampai di  Matahari Dept. Store Samarinda, saya melihat deretan kebaya encim yang simple tetapi manis. Saya beranikan diri bertanya pada Mama, apakah ada kesempatan saya bisa memilikinya, sambil menceritakan soal lomba itu. Tak lupa saya sisipkan kalimat "pembujuk", kalo tidak dibelikan ya tidak apa, nanti bisa pinjam saja baju kebaya milik teman. Mama diam, tapi beliau mulai memilih-milih baju kebaya di deretan itu (saya menjerit dalam hati, yesss!) Terpilihlah sehelai kebaya encim berwarna putih untuk di bawa ke kasir. Tak disangka, Mama juga berencana membawa saya berpagi-pagi ke salon, supaya saya didandani dan dipasangi sanggul. Padahal saya tak memintanya. Saya lebih sibuk mempersiapkan naskah pidato saya soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa banyak perempuan di Indonesia.

Hari H lomba pidato, saya berdiri depan tim juri, mengemukakan pidato saya soal KDRT pada perempuan di Indonesia. Saya sibuk casciscus soal statistik kekerasan, dan menganalisa apa sebabnya. Tuntutan sosial bahwa perempuan harus cepat menikah adalah yang paling saya ingat (maklum udah tua, ga inget semua hihihi). Akhirnya perempuan cenderung terburu-buru, tanpa tahu mengapa ia menikah dan apa sebetulnya yang ingin didapat dari pernikahan itu. Aturan hukum pun tak banyak yang paham. Sehingga ketika terjadi kekerasan, maka dianggap sebagai sebuah kewajaran. Kewajaran bahwa sudah sepatutnya suami “mendidik” istri, dengan cara apapun, termasuk dikerasi baik secara fisik maupun verbal.

Saya terlena dalam pidato. Setelah pidato selesai terjadi diskusi yang seru dengan tim juri (jadi ini bukan cuma lomba pidato searah gitu, tim juri bisa bertanya lebih lanjut atau sekedar konfirmasi pada peserta mengenai topik yang diangkat). Saya lupa dengan Diah Permatasari si pemakai baju Aceh. Saya lupa dengan kebaya. Yang saya ingat, mimpi saya akan kebaya, sudah tergantikan oleh keinginan: ketika saya akan menikah, saya harus selesai memahami aturan hukum yang terkait dengan pernikahan seperti UU No. 1/ 1974 tentang pernikahan dan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 

Alhamdulillah, keinginan itu tercapai, sehingga saya menikah tidak dengan kepala "kosong". Insya Allah saya memahami hak - kewajiban istri dan suami. Juga apa dan bagaimana sebetulnya yang disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga menurut UU itu. Didampingi dengan bacaan saya yang sedikit soal rumah tangga dalam Islam sejak kuliah, insya Allah saya siap menapaki jenjang pernikahan. 

21 April 2014

Di Canberra tak ada perayaan Hari Kartini. Tapi cerita soal kebaya di Hari Kartini selalu saya panggil kembali dalam ingatan setiap hari ini. Melalui rentetan kejadian soal kebaya dan Hari Kartini itu, Mama secara tidak langsung telah memberi saya pelajaran, bahwa isi harus sama baiknya dengan bungkus. Dandanan cantik kebaya harus disertai dengan pemahaman apa yang seharusnya perempuan pahami mengenai dirinya. Tidak sekedar menjadi pengikut, tapi ternyata miskin pemahaman.


Selamat Hari Kartini. Semoga tidak berhenti pada kebaya, sanggul, dan sepatu hak tinggi :)

Wednesday, March 19, 2014

Tanpa Nama

Ini tentangmu yang tak boleh disebut namanya
Yang setiap hari kuhanyutkan dalam sungai bernama ingatan
Dan setiap minggu kucemplungkan dalam danau bernama kenangan

Ini tentangmu yang tak boleh disebut namanya
Yang peninggalannya menghiasi rumah bernama kasih sayang
Yang ceritanya menggantung di langit-langit harapan

Tapi aku tak tahu apakah rasaku ini bernama apa
Yang kutahu, aku menikmati saat-saat bersamamu, meski kau pun tak menyadari aku ada

Tapi bukankah yang indah tidak selalu harus bernama?

:)

*untukmu yang selalu hidup dalam ingatanku

Thursday, March 6, 2014

Seleksi Alam

"Good men for good women. Bad men for bad women. That is called natural selection."
Perempuan Baik untuk Lelaki Baik [QS. An Nuur: 26] (Source: twicsy.com)

Wednesday, March 5, 2014

Senja

Aku dini hari
bukan penikmat senja.

Namun bulan Desember yang kelabu berhasil membuatku 
menunggu-nunggu senja

Karena senja berarti kedatanganmu
menyodorkan helm usang padaku, 
sambil mengucap salam dan bertanya, “Makan malam di mana kita?”

Aku dini hari 
bukan pecinta senja.

Namun aku melalui dua puluh sembilan senja 
dengan senyum lebar dan hati berdebar.

Karena senja berarti wajahmu
yang lelah namun bercahaya, sayu namun indah.

Dan aku semakin tidak menyukai senja di Canberra 
yang datang terlambat, menjelang waktu orang-orang mulai terlelap.

Karena senja ini aku tidak bisa melihatmu. Juga senja-senja berikutnya.

Dan senja hari ini, semakin sepi saja. Semakin dingin saja.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

P.S: Happy Third Monthiversary, My Dear :)

Lake Burley Griffin, Commonwealth Park Canberra © 2014 Dini Suryani

Tuesday, March 4, 2014

Penantian

"Hidup itu soal menanti. Juga soal mengisi ruang-ruang kosong dalam interval penantian, baik dengan manusia dan peristiwa." 

Jakarta, 24 Desember 2013

Aku Membenci Jalanan Jakarta

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang membuat ugal-ugalan para supir bus kota
Si adik kecil di pangkuan perempuan paruh baya hampir muntah
Entah karena bus berjalan serampangan
Atau karena bau keringat duapuluh tigapuluh orang bersatu padu

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang panjang sekaligus macet
Membuat argo berlari bagai kuda
Tapi taksi tak berkutik
Dompetku bergidik

Aku membenci jalanan Jakarta
Pejalan kaki menyebrang dengan jembatan
Dari belakang ada sepeda motor mengklakson
Minta diberi jalan
Entah siapa yang bodoh

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang pakai sepeda motor gesit menyalip
Yang pakai mobil mewah sombong dan jumawa
Lalu sepeda motor menyenggol mobil mewah
Supir mobil memaki: GOBLOK! 
Dan pengendara motor memacu gas kencang-kencang
Cih, siapa yang peduli?

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang membuat orang berakal tuna pikir
Orang berhati tuna rasa

Tapi jalanan yang aku benci itu
Telah mengantar pulang ribuan hati yang lelah
Menuju persinggahan dan rumah
Yang setiap tapaknya menumpuk harapan para pengguna jalan
Untuk menuntaskan kerinduan

Canberra, 5 Maret 2014, pukul 01:13 dini hari