Monday, April 21, 2014

Kebaya di Hari Kartini

April 1992-1998

Apa yang paling identik dengan 21 April? Hari Kartini tentu saja. Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, beberapa sekolah menyunnahkan (bukan mewajibkan hihi) kami murid-murid perempuan memakai baju daerah. Apapun itu. Bisa kebaya, baju bodo, baju kurung. Terserah, yang penting baju daerah. Saya? Seingat saya, tidak setiap tahun saya memakainya. Bukan karena apa-apa, tetapi mama saya tidak akan mau repot-repot menyewakan saya dan kakak baju daerah dari salon karena harganya mahal.

Saya bingung waktu itu. Mengapa mama begitu ‘pelit’. Kami bukan dari keluarga yang kurang mampu. Alhamdulillah semua berkecukupan. Tapi mama begitu ketat dalam memilih dan memilah, kebutuhan mana yang prioritas dan bukan prioritas. Tentu menyewa baju kebaya setiap Hari Kartini bukan termasuk kebutuhan yang prioritas. Ada rasa iri saya pada teman-teman yang orang tuanya niat mendandani anaknya dengan kebaya dan baju daerah warna-warni lengkap dengan sanggul dan sepatu hak tingginya. 

Saya ingat betul, ketika kalender di ruang makan yang semula adalah kalender 1997 diganti menjadi 1998 karena pergantian tahun, saya jadi sulit tidur. Setiap hari saya melihat kalender itu. Bukan melihat tanggal atau bulannya, tetapi melihat gambar model yang menghiasi di setiap halamannya. Gambar model wanita cantik dengan baju daerah dari 12 daerah di seluruh Indonesia. Saya paling tertarik dengan halaman bulan Januari, karena Diah Permatasari (iya Diah yang jadi Si Manis Jembatan Ancol :D) memakai baju adat Aceh.  Alasan saya sederhana saja, baju adat Aceh yang saya lihat waktu itu memakai celana panjang, berbeda dengan baju adat lain yang harus memakai rok sempit-sempit. Pasti susah jalannya, pikir saya waktu itu.

Hari berganti, bulan terlewati. Sudah bulan April, tak ada tanda Mama akan menyewakan baju daerah padahal sebentar lagi Hari Kartini. Saya tidak berani bertanya, karena sudah menduga bahwa jawabannya pasti tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tapi saya tidak pernah bosan melihat baju adat Aceh di bulan Januari, dan membayangkan apabila saya bisa memakainya di Hari Kartini di sekolah. Membayangkannya saja waktu itu seingat saya, saya cukup merasa bahagia. Sederhana sekali ya? :D

Maret- April 2005.

Akhir kelas 3 SMA. Bulan depan Hari Kartini, tapi saya sudah tak bernafsu lagi soal kebaya-kebaya seperti waktu jaman SD dulu, meski tetap ada keinginan memakai kebaya yang "niat". Saya lebih fokus ke ujian akhir. Nilai tryout yang kurang begitu memuaskan membuat saya tak lagi pusing soal kebaya di Hari Kartini. Hingga wali kelas menunjuk saya menjadi wakil kelas untuk ikut lomba pidato tentang perempuan di Hari Kartini. Saya tak bisa menolak, dan yang menjengkelkan (atau menyenangkan) peserta lomba pidato diwajibkan memakai baju daerah lengkap. Sepanjang pulang ke rumah saya sibuk berpikir, apa yang harus saya katakan pada Mama mengenai ini? Masih sebulan lagi, sih.

Sampai di rumah, Mama menceritakan rencana keluarga untuk belanja di Samarinda. Kota kecil Sangatta memang kurang pas buat belanja-belanja. Selain harganya mahal, juga tak banyak pilihan. Keluarga kami memang biasanya setiap bulan ke Samarinda untuk membeli kebutuhan sekunder (seperti perabot rumah tangga dan printilan lainnya). Sesampai di  Matahari Dept. Store Samarinda, saya melihat deretan kebaya encim yang simple tetapi manis. Saya beranikan diri bertanya pada Mama, apakah ada kesempatan saya bisa memilikinya, sambil menceritakan soal lomba itu. Tak lupa saya sisipkan kalimat "pembujuk", kalo tidak dibelikan ya tidak apa, nanti bisa pinjam saja baju kebaya milik teman. Mama diam, tapi beliau mulai memilih-milih baju kebaya di deretan itu (saya menjerit dalam hati, yesss!) Terpilihlah sehelai kebaya encim berwarna putih untuk di bawa ke kasir. Tak disangka, Mama juga berencana membawa saya berpagi-pagi ke salon, supaya saya didandani dan dipasangi sanggul. Padahal saya tak memintanya. Saya lebih sibuk mempersiapkan naskah pidato saya soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa banyak perempuan di Indonesia.

Hari H lomba pidato, saya berdiri depan tim juri, mengemukakan pidato saya soal KDRT pada perempuan di Indonesia. Saya sibuk casciscus soal statistik kekerasan, dan menganalisa apa sebabnya. Tuntutan sosial bahwa perempuan harus cepat menikah adalah yang paling saya ingat (maklum udah tua, ga inget semua hihihi). Akhirnya perempuan cenderung terburu-buru, tanpa tahu mengapa ia menikah dan apa sebetulnya yang ingin didapat dari pernikahan itu. Aturan hukum pun tak banyak yang paham. Sehingga ketika terjadi kekerasan, maka dianggap sebagai sebuah kewajaran. Kewajaran bahwa sudah sepatutnya suami “mendidik” istri, dengan cara apapun, termasuk dikerasi baik secara fisik maupun verbal.

Saya terlena dalam pidato. Setelah pidato selesai terjadi diskusi yang seru dengan tim juri (jadi ini bukan cuma lomba pidato searah gitu, tim juri bisa bertanya lebih lanjut atau sekedar konfirmasi pada peserta mengenai topik yang diangkat). Saya lupa dengan Diah Permatasari si pemakai baju Aceh. Saya lupa dengan kebaya. Yang saya ingat, mimpi saya akan kebaya, sudah tergantikan oleh keinginan: ketika saya akan menikah, saya harus selesai memahami aturan hukum yang terkait dengan pernikahan seperti UU No. 1/ 1974 tentang pernikahan dan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 

Alhamdulillah, keinginan itu tercapai, sehingga saya menikah tidak dengan kepala "kosong". Insya Allah saya memahami hak - kewajiban istri dan suami. Juga apa dan bagaimana sebetulnya yang disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga menurut UU itu. Didampingi dengan bacaan saya yang sedikit soal rumah tangga dalam Islam sejak kuliah, insya Allah saya siap menapaki jenjang pernikahan. 

21 April 2014

Di Canberra tak ada perayaan Hari Kartini. Tapi cerita soal kebaya di Hari Kartini selalu saya panggil kembali dalam ingatan setiap hari ini. Melalui rentetan kejadian soal kebaya dan Hari Kartini itu, Mama secara tidak langsung telah memberi saya pelajaran, bahwa isi harus sama baiknya dengan bungkus. Dandanan cantik kebaya harus disertai dengan pemahaman apa yang seharusnya perempuan pahami mengenai dirinya. Tidak sekedar menjadi pengikut, tapi ternyata miskin pemahaman.


Selamat Hari Kartini. Semoga tidak berhenti pada kebaya, sanggul, dan sepatu hak tinggi :)

No comments:

Post a Comment