Sunday, July 27, 2014

Alumnus Ramadhan

Malam 1 Syawal  1435 H.

Tahun ini tidak mudik seperti yang sudah-sudah. Saya memilih bertahan di Canberra karena sudah masuk minggu kuliah. Mungkin ini Idul Fitri paling sunyi yang pernah saya lewati. Entah di masa depan bagaimana. Jangan-jangan ini masih belum seberapa.

Di Australia tidak ada takbir keliling. Sahut-sahutan takbir dari masjid atau mushalla saja tidak ada. Jangankan takbiran, adzan pun tak pernah terdengar. Tapi saya tetap bersyukur, di acara buka puasa di rumah Mbak Fina dan Mas Ulil tadi, jamaah pria selepas maghrib mengumandangkan takbir selayaknya malam 1 Syawal meskipun sebentar. Takbiran yang singkat itu berhasil membuat saya terdiam. Dan sekarang saya menangis.

Saya memang pura-pura kuat.

Sejak kemarin saya menyebalkan. Cepat sekali emosi. Yang jadi korban adalah suami saya, orang yang paling sering saya ajak bicara. Tentang hal yang penting, dan terlebih tentang hal yang kurang penting. Dalam 3 hari, saya sudah 2 kali adu mulut dengannya. Akibat kekeraskepalaan saya. Akibat perilaku saya yang defensif. Akibat kesedihan yang gagal saya terjemahkan dengan baik.

Saya tahu ini “cuma” Idul Fitri. Saya jadi ingat bahwa Papa dan Mama sudah berkali-kali tidak pulang menemui orang tua mereka (ketika masih hidup) ketika Idul Fitri karena satu dan lain hal. Sekarang adalah giliran saya. Maka seharusnya saya tak perlu merasa sedih begitu rupa. Bukankah mengalami semua sendirian adalah salah satu inti merantau? Dan sebagai orang yang mengklaim dirinya perantau, tak seharusnya saya defensif yang akhirnya malah  terekspresi dalam sikap emosional tak tepat waktu dan tak tepat sasaran.

Jujur, selain kesedihan melewati Idul Fitri sendirian, ini juga merupakan saat terlemah saya.

Nilai semester lalu yang kurang memuaskan membuat saya gamang dalam melangkah, dan merasakan semua seperti dalam keadaan hampir koma. Setengah sadar. Kaki saya belum bisa berpijak di tanah dengan baik. Muncul pertanyaan-pertanyaan  dalam kepala. Apakah saya mampu? Dan lebih penting, apakah saya pantas?

Saya kembali ke Canberra dengan sebuah beban besar di pundak, bahwa saya harus bisa menyelesaikan studi dengan baik, sebagaimana rencana awal, 2 tahun dengan riset. Tapi semakin keras saya berpikir bagaimana caranya, semakin kencang satu jawaban bergema dalam kepala saya, “Lakukan yang terbaik yang kamu bisa!” Kalaupun saya tidak berhasil, ya sudahlah. Itu adalah proses yang harus saya terima.

Saya memang bukan ‘lulusan’ Ramadhan yang terbaik. Shalat tarawih tak lengkap. Tilawah kurang istiqomah. Tapi saat ini saya paham, bahwa Ramadhan yang terbaik adalah Ramadhan yang menghasilkan semangat untuk selalu berikhtiar memperbaiki diri di bulan-bulan setelahnya. Memperbaiki diri dalam ibadah, juga dalam studi.

Mungkin saya bukanlah “lulusan terbaik” Ramadhan. Tapi semoga saya bisa menjadi salah satu “alumnus yang baik” dari bulan Ramadhan.

Saya pamit dulu, mau menelepon suami untuk minta maaf :)

Semoga kita bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Taqaballahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Idul Fitri 1435 H.

Canberra, 27 Juli 2014