Friday, October 23, 2015

This is a story about a friend.

This is a story about a friend. 

I met her for the first time in a crowded welcoming party in of new Indonesian students (or other occasion I am not sure haha). What I can recall is we were queueing food and started to introduce ourselves to each other. 

I did not notice her until we met again in a fine afternoon in our friend’s house in Belconnen. And we were happened to meet each other in a weekly meeting with other girls. 

We started to hang out together. Having dinner, going places and taking pictures with our cameras. And of course, we started to talk. 

I cannot tell you what topics we discussed (or we were fought about). Because they were just too many. 

What I can tell you is that I have learned so much from her. 

I have learned that whatever you do, a bad human can be good suddenly, or vice versa, a good human can be bad. Or both at the same time. The point is, don’t judge. Who the heck are we judging somebody? 

I have learned that problems should be solved. Haha. This is silly but for some reasons, I sometimes consider that problems are better left unresolved. But no. Some recent events showed me that there’s no point of letting problems because it will grow, and yes, get worse. When I realise, the problems became so complicated. 

I have learned that human should try their best, whatever it takes. Always remember Surah Al Baqarah: 286 "Allah does not charge a soul except [with that within] its capacity.” Therefore, dont lose hope. 

It seems like the things that I learned were just simple ones. But yes, because they were simple then we (read: I) tend to forget. And surrounded by a good friend like her was a blessing that I should not have taken for granted.

I know I will leave Canberra soon and definitiely will leave her too. But we have technology now. And insya Allah will see her again in my hometown, which also her hometown :D 

So here she is :D


Friday, October 9, 2015

Random Conversation



















I have just arrived at the dorm and tired. Then suddenly got this message on my Facebook. The question came from someone who assisted me on a short research in outside Java and, in fact, we did not talk much afterwards. Nor shared our life stories. Then why would this person feel the urge to ask about my reproduction? After the last sentence that appears above, I politely repeated my answer "Belum, Kak", and I did not get any respond. It means this person contacted me randomly and did not really want to talk to me. And she unfortunately also chose a wrong question for a random conversation. 

Do you think you want to talk about that topic in a sudden conversation? Why would this person think I am going to share my stories in this kind of random way? 


You may think that I am too sensitive. But seriously guys, this person needs to learn to ask better questions. I have been asked about my payment. About when we get married. And now about my pregnancy. In the most random way. Not only by this person. But also by the people who are not even in my second circle of life. Hmmm, or maybe I should replace the "I" into "we"? Or maybe we were the ones who ask other people -who are not even in our second circle -randomly? 

Yes may be Indonesians are such religious people; therefore their questions could be defined as prayers. But if you are really such a religious person, you should have known that the best prayers are the ones that untold to the person who you are prayed for.

Dini is feeling meh.  

Saturday, May 16, 2015

Sapa

Di Australia, setiap bertemu dengan orang dikenal, hampir selalu disapa, "How are you?". Sapaan ini tidak hanya dilakukan oleh orang Australia asli, tetapi juga oleh orang yang sudah terpengaruh tradisi sini. Biasanya, jika disapa oleh kalimat tanya semacam "How are you?", yang disapa menjawab "Hey, I'm fine!", dan dilanjutkan dengan pertanyaan balik semacam "How about you?" untuk menunjukkan kesopanan.

Yang menarik, sapaan "How are you?" tetap digunakan meski yang menyapa dan disapa sedang dalam keadaan terburu-buru. Lucunya, orang sini tetap akan menjawab meski tidak berhenti berjalan sedetik pun. Lha wong yang menyapa juga tidak berhenti kok. Hihi. Ada juga orang yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu, tapi begitu melihat orang yang dikenal tetap disapa "How are you?". Ketika yang disapa menjawab "I am fine" atau jawaban apapun, yang bertanya tidak memperhatikan jawaban yang ditanya karena sibuk melanjutkan aktivitas yang dilakukan. Hihihihi. Begitulah, dalam keadaan tertentu, sapaan "How are you?" lebih berlaku seperti "Hi" atau "Hello", tidak butuh jawaban eksplisit. Menjawab dengan senyum pun tidak masalah, yang penting jangan dicuekin ya :D

Saking seringnya ditanya "How are you?" dan menemui situasi di atas, saya dan teman-teman Indonesia terkadang merasa sapaan itu hanya sekedar basa-basi. Bingung mau jawab serius atau tidak. Basa-basi untuk menunjukkan sikap ramah ga salah kok. Bagus malah. Yang penting jangan terlalu basi saja. Haha. Saya sih biasanya tetap jawab "I am fine" dan bertanya balik "What about you?" meski setelah lawan bicara menjawab "I am fine", tidak ada percakapan apa-apa lagi antara kami. Tapi terkadang "How are you?" itu menolong juga lho, sebagai pertanyaan pamungkas jika kita tidak tahu harus memulai dari mana dengan orang yang baru dikenal.

Di Indonesia? Sapaan pertama dengan orang yang dikenal ketika baru bertemu mungkin jauh lebih beragam. Dan lebih ekstrim. "Kurusan ya kamu", "Gendutan ih, makannya banyak ya?", "Gile udah 2015 masih jomblo aja lu?", "Skripsi/tesis gimana?", "Kapan lulus?", "Kok belum kerja?", "Kapan kawin?", "Kok belum punya anak? Kan udah 3 tahun nikah?", "Anak kamu baru satu? Kapan nih punya anak kedua?", "Anak lo laki semua? tambah dong, perempuan, biar lengkap", dan seterusnya.

Hmmmmm.

Pilih mana? :)))
Sumber: http://www.storenvy.com/products/1014779-austin-hi-how-are-you


Canberra, 16 Mei 2015

Tuesday, March 24, 2015

Iqra Mamak

Bingung ya kenapa saya nulis blog terus? Sama saya juga bingung. Hahaha. Padahal saya harus menyelesaikan proposal tesis sesegera mungkin. Tapi tidak apa-apalah. Saya sudah menisbatkan menulis blog sebagai bentuk pelarian. Escape strategy, istilah kerennya. Meski saya tidak pernah benar-benar bisa lari dari kewajiban tesis (ya iyalah!). 

Kali ini saya ingin bercerita soal ibu saya yang saya panggil mamak. Ya, Mamak dengan 'k' karena kami terpengaruh oleh dialek Kalimantan meski kami secara etnisitas masuk ke dalam kelompok suku Jawa.

Mamak ini orang yang sangat kuat menurut saya. Pendiriannya teguh, meski beliau tidak berpendidikan tinggi. Padahal saya juga tidak yakin apakah benar-benar ada korelasi antara tingkat pendidikan dan teguhnya pendirian. Hehehe. Beliau hanya lulus SMP. Memang mamak sempat duduk di bangku SMA, tetapi di usia 18, ketika kelas 3, beliau dinikahi oleh ayah yang kami panggil Papa. Lalu punya anak kami bertiga.

Mamak tidak bekerja. Sejak ia menikah, papa memintanya berhenti dan menjadi ibu rumah tangga. Tidak ada yang aneh di keluarga kami waktu itu. Kami cuma warga biasa yang beragama Islam KTP sebagaimana kebanyakan penduduk di Indonesia. Ya, kedua orang tua saya (waktu itu) tidak menjalankan sholat lima waktu dan tidak ada paksaan bagi kami anak-anaknya untuk melakukannya. Hanya saja, jika Ramadhan tiba, kami diwajibkan berpuasa, meski tidak diikuti dengan diwajibkan shalat termasuk shalat tarawih. Jika tidak berpuasa, papa akan memarahi kami.

Saya sendiri berpuasa dan shalat lima waktu juga shalat tarawih di bulan Ramadhan-selain takut sama Papa- juga karena sekolah memberikan saya dan murid lainnya Buku Evaluasi Ramadhan (iya betul, yang kuning itu) untuk diisi. Maka saya akan mengisi buku evaluasi itu sesuai dengan amalan ibadah saya. Saya cukup berprestasi secara akademik di sekolah. Tentu saya tidak menginginkan nilai saya jatuh hanya gegara buku evaluasi ramadhan yang bolong-bolong. Saya terlalu pengecut untuk berbohong, karena sejak kecil mamak sudah mengajari saya bahwa berbohong (meskipun itu white lies) tidak baik.

Selain tidak boleh berbohong, mamak juga memasukkan saya ke sekolah Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di sebuah mushala kecil di perumahan kami. Jadi kesimpulannya, saya puasa dan mengaji tetapi tidak shalat. Shalat hanya bulan Ramadhan karena buku evaluasi kuning itu. Hehehe. Saya sih senang-senang saja dimasukkan TPA, karena jadi memiliki kesempatan lain di luar sekolah untuk bertemu teman-teman.

Usia SD, logika dan nalar saya mulai berkembang. Saya sering bertanya pada diri sendiri mengapa papa dan mamak tidak pernah shalat, padahal mengaku Islam. Saya dan saudara pun tidak pernah dipaksa shalat, meski guru agama bilang kalau usia 7 tahun anak tidak mau shalat maka boleh dipukul. Tapi pertanyaan itu tidak pernah saya tanyakan langsung ke papa dan mamak. Saya takut dimarahi.

Hingga suatu hari saya melihat mamak memegang buku Iqra' milik saya yang sudah usang dan tak terpakai karena saya sudah mengaji Al Qur'an di TPA. Mamak mengaji a, ba, ta, tsa. Saya bertanya segera mengapa mamak melakukannya. Mamak bilang, "Mamak mau belajar baca huruf Arab. Mamak ga bisa. Dulu Mbah ga ngajarin." Ya, dulu Mbah Putri (dari pihak mamak) saya memang penganut kejawen sebelum almarhumah kembali pada Islam dan alhamdulillah sempat menunaikan haji. Mbah Kakung sendiri saya tidak tahu pasti apakah menjalankan agama Islam atau tidak. Saya hanya sempat mengenal beliau sebentar sebelum beliau berpulang.

Papa sendiri sebetulnya memiliki eksposur agama Islam yang lebih baik dibanding mamak. Tumbuh di keluarga bercorak NU dan sempat menjadi santri ketika beliau masih sekolah. Namun kesibukan kerja membuatnya sedikit demi sedikit meninggalkan shalat. Kecuali shalat jumat, tentu saja. Karenanya, papa juga tidak mengajari mama mengaji atau memaksa kami shalat.

Ternyata, Mamak bersama ibu-ibu satu komplek berinisiatif memanggil guru mengaji. Pak Munif, namanya. Belakangan, Pak Munif digantikan oleh guru perempuan bernama Bu Sri. Jadi ketika kami anak-anaknya pergi TPA di masjid pada sore hari, para ibu termasuk mamak juga belajar huruf hijaiyah. Saya masih ingat, mamak dengan perlahan menuliskan huruf-huruf yang ada di Iqra lusuh itu ke dalam buku tulis. Usia mamak mungkin saat itu 30-an. Belum cukup tua, memang. Tetapi mengingat mamak bukanlah orang dengan eksposur keislaman yang memadai tentu semangat itu mengagumkan. Beliau juga tidak malu meminta saya yang sudah lebih dulu bisa membaca Al Quran menjadi 'guru' nya di rumah. Sekedar mengulang bacaan supaya tidak lupa pada pengajian selanjutnya.

Ketika akhirnya saya harus pergi dari rumah karena kuliah S1 ke Yogyakarta (ini adalah kota yang membuat saya hijrah, saya ceritakan kapan-kapan), saya mendengar mamak mengaji Al Quran dengan indahnya di sela-sela mudik. Mamak juga sudah lama shalat lima waktu, juga melaksanakan amalan ibadah lainnya. Mamak mungkin lebih sering khatam daripada saya. Apalagi di bulan Ramadhan, semangatnya menjadi dua kali lipat. Saya bahagia, sekaligus malu. Hihihihi. Papa juga tidak mau kalah. Berangsur-angsur beliau kembali lagi shalat, termasuk mengerjakan shalat-shalat sunnah. Meski papa lebih jarang membaca Al Quran dibanding mamak. Saat ini Papa bahkan sudah shalat subuh di masjid secara rutin. Sebuah lompatan yang besar.

Satu keinginan mamak yang belum tercapai waktu itu. Pergi ke tanah suci. Entah untuk haji atau sekedar umrah bersama papa. Mamak mengatakan kepada saya pada sebuah momen mudik yang ke sekian, " Mamak sudah daftar haji sama papa, tapi masih lama berangkatnya. Mamak mau umrah dulu kali ya, takutnya ga ada umur sampe giliran haji dateng." Saya mengaminkan sungguh-sungguh doa mamak itu.


Alhamdulillah, Senin 23 Maret 2015 mamak dan papa berangkat umrah. Saya dan saudara-saudara sayangnya tidak ada yang bisa mengantar karena kami semua memang berada di kota yang berbeda dengan mamak dan papa. Untungnya suami saya berbaik hati ijin dari kantor untuk menemui keduanya di Bandara Soekarno Hatta, padahal saya tidak meminta. Mas Gery juga sempat mengatur sesi panggilan video via Google Hangouts agar saya bisa bicara dengan mereka sebelum berangkat. Cupcup wawaw buat Mas Gery. Hehehe.

Mamak dan Papa sebelum berangkat umrah :)
Mengingat mamak yang terbata-bata membaca a, ba, ta, tsa dari iqra yang lusuh pada malam itu, dan melihat mamak bisa mewujudkan mimpinya yang kesekian untuk melaksanakan umrah, sungguh membuat saya terharu. Good job, Mak. Semoga Allah senantiasa merahmati papa dan mamak, melancarkan ibadah umrahnya dan memberikan berkahNya juga keselamatan hingga nanti kembali ke Indonesia. Semoga Allah juga memberikan papa dan mamak kesempatan untuk melaksanakan haji nantinya.

Peristiwa Mamak (dan Papa) Pergi Umrah (yah sejenis Emak Naik Haji hehehe), ini membuat saya tersadar. Bahwa pernikahan yang berhasil bukanlah pernikahan yang diberikan banyak rezeki (duniawi) atau banyak anak. Tetapi pernikahan yang berhasil dan diberkahi oleh Allah adalah pernikahan yang menjadikan suami dan istri menjadi orang yang lebih berkualitas, terutama di hadapanNya. Semoga semangat untuk menjadi orang yang lebih baik ini bisa kami teladani. Aamiin.

Sunday, March 22, 2015

Makan Malam


Foto di atas adalah saya dan kawan-kawan di Blok D3 dan E3 Toad Hall, asrama tempat saya bernaung selama kuliah S2 di The Australian National University. Kami mengadakan makan malam bersama pada Sabtu, 21 Maret 2015 yang lalu. Ada kurang lebih 20 orang yang meninggali kamar-kamar di dua blok itu yang berasal dari kira-kira 12 negara.

Makan malam adalah saat dimana kami bisa bersosialisasi satu sama lain di tengah jadwal kuliah dan tugas yang menumpuk. Biasanya hidangan yang disediakan berbasis potluck dimana masing-masing dari kami bebas membawa makanan apapun untuk dimakan bersama. Atau bisa juga disediakan oleh manajemen Toad Hall. Soal makanan, saya cukup hati-hati karena sebagai Muslimah, ada beberapa makanan yang tidak boleh saya makan. Namun, mengingat saya minoritas, saya tidak serta merta merepotkan orang-orang dengan cerewet bilang bahwa saya tidak boleh makan ini dan itu. Saya biasanya membawa makanan sendiri yang bisa saya makan (tentu saja!) dan bisa dimakan yang lain juga. 

Meski saya minoritas, teman-teman di Toad Hall sangat pengertian. 

Tahun lalu, ketika ada acara makan malam potluck, teman-teman seblok dengan sengaja memisahkan vegetable roll yang mengandung babi (pork) dan yang tidak. Padahal saya tidak minta secara khusus. Saya juga sengaja tidak konfirmasi akan datang atau tidak, karena saya tidak ingin  mereka merasa kerepotan memasak makanan yang bisa saya makan, padahal mereka ingin makan pork. Ya, pork adalah hidangan yang hampir selalu ada karena (katanya) enak. Ketika saya datang, dengan ramahnya mereka memberitahu saya bahwa mereka telah memisahkan makanan yang mengandung pork dan yang tidak. Juga dengan proses pembuatannya. Padahal yang membuat itu adalah orang Vietnam dan Kamboja, yang jelas-jelas bukan beragama Islam. 

Tahun ini, hidangan makan malam disediakan oleh asrama. Senior Resident (semacam Pak RT di masing-masing blok) secara khusus mengatakan kepada saya di malam sebelum acara itu diadakan, "Dini, the menu tomorrow will be Turkish pide. It's halal, so don't worry." Duh, saya jadi terharu. Di acara itu mereka menyediakan sampanye dan anggur, tetapi tidak lupa juga menyediakan cola buat orang yang tidak minum alkohol seperti saya. 

Di tengah acara, ada seorang mahasiswa Cina yang bertanya, "Why do you always covering your head?" Saya berusaha menjelaskan sesederhana mungkin bahwa ini adalah nilai agama Islam yang saya pegang. Dia manggut-manggut. Entah mengerti atau tidak. Hehe. 

Di Indonesia, saya adalah mayoritas. Tetapi di sini, saya minoritas. Situasi seperti ini justru membuat saya belajar, nanti ketika kemabli ke Indonesia saya harus merangkul dan menghormati minoritas sebagaimana saya di sini dirangkul dan dihormati, bukan malah mengancam keberadaan mereka. 

Sunday, March 1, 2015

Lebih dari Setahun

Sudah lebih dari setahun, Mas. Di antara 365 hari-tanpamu bagiku dan tanpaku bagimu, adakah kita belajar sesuatu? Selain air mata yang mengalir deras dan sesak di dada akibat rindu.

Sudah lebih dari setahun, Mas. Di antara 365 hari itu, ada saja di antara kita yang merengek meminta bertemu. Terutama aku. Lalu kau dengan gengsi kelaki-lakianmu, menolak untuk menangis
hanya berkata, "Ya sudah, pulang saja. Tak usah lanjutkan pendidikanmu". Aku malah menangis lebih keras. Kau jahat, Mas. Tapi aku tahu, bukan itu sebenar maksudmu. 

Sudah lebih dari setahun, Mas. Kadang kita bertengkar, mungkin malah sering (ah sudahlah, pokoknya ada saja). Yang berbeda dari pasangan lain, meski tak bicara akibat bertengkar, semesta masih akan mempertemukan, dalam satu rumah, dalam satu kamar, dalam satu ranjang. 

Kita? Tak akan dipertemukan jika kita tak membuka layar. Meski sudah kangen tapi bila gengsi merajai, bisa dua hari tidak bertukar sapa. Bahaya? Tentu saja. Tapi di antara dua hari itu, ketahuilah, Mas, aku menangis terus-terusan, makan tak enak tidur tak nyenyak. Meski begitu, tetap saja aku menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dulu. Ah, mungkin ini masokis gaya baru. Haha. Kau, meski gengsi kelaki-lakianmu tetap tinggi, tidak pernah tahan untuk tidak bicara denganku. Lalu kau mengirim pesan singkat padaku, meminta sesi panggilan video sambil berkata, "Masih marah ya? Maafkan aku ya". Padahal jelas-jelas aku yang salah. Aku ini sungguh perempuan beruntung yang kurang ajar :p

Sudah lebih dari setahun, Mas. Perpisahan mengajarkan kita banyak hal. Mungkin terutama bagiku. Melalui perpisahan aku justru belajar bahwa kita benar-benar saling memiliki. Melalui rindu yang tumbuh, cemburu yang muncul atau marah tak jelas yang secara periodik mampir. Melalui perpisahan aku juga belajar bahwa meski kita saling memiliki, kita tidak boleh lupa bahwa kita adalah dua kepala yang berbeda, dengan keinginan yang berbeda. Bahwa berpasangan tidak selayaknya mematikan salah satu di antara kita dengan dalih "bersatu atas nama cinta". Cinta buat kita justru haruslah menghargai masing-masing dari kita, dengan seluruh perbedaan yang ada. Karena kita adalah dua orang yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. 

Sudah lebih dari setahun, Mas. Saat itu hampir tiba. Sabar ya. Sampai kita bertemu lagi :) 

Canberra, 1 Maret 2015


Wednesday, February 18, 2015

Zero

The moment when you and your partner are at zero point on the same time. Too weak to lift each other up. Even to weak to lift yourself up.

And distance makes it worse.