Showing posts with label rantau. Show all posts
Showing posts with label rantau. Show all posts

Sunday, March 22, 2015

Makan Malam


Foto di atas adalah saya dan kawan-kawan di Blok D3 dan E3 Toad Hall, asrama tempat saya bernaung selama kuliah S2 di The Australian National University. Kami mengadakan makan malam bersama pada Sabtu, 21 Maret 2015 yang lalu. Ada kurang lebih 20 orang yang meninggali kamar-kamar di dua blok itu yang berasal dari kira-kira 12 negara.

Makan malam adalah saat dimana kami bisa bersosialisasi satu sama lain di tengah jadwal kuliah dan tugas yang menumpuk. Biasanya hidangan yang disediakan berbasis potluck dimana masing-masing dari kami bebas membawa makanan apapun untuk dimakan bersama. Atau bisa juga disediakan oleh manajemen Toad Hall. Soal makanan, saya cukup hati-hati karena sebagai Muslimah, ada beberapa makanan yang tidak boleh saya makan. Namun, mengingat saya minoritas, saya tidak serta merta merepotkan orang-orang dengan cerewet bilang bahwa saya tidak boleh makan ini dan itu. Saya biasanya membawa makanan sendiri yang bisa saya makan (tentu saja!) dan bisa dimakan yang lain juga. 

Meski saya minoritas, teman-teman di Toad Hall sangat pengertian. 

Tahun lalu, ketika ada acara makan malam potluck, teman-teman seblok dengan sengaja memisahkan vegetable roll yang mengandung babi (pork) dan yang tidak. Padahal saya tidak minta secara khusus. Saya juga sengaja tidak konfirmasi akan datang atau tidak, karena saya tidak ingin  mereka merasa kerepotan memasak makanan yang bisa saya makan, padahal mereka ingin makan pork. Ya, pork adalah hidangan yang hampir selalu ada karena (katanya) enak. Ketika saya datang, dengan ramahnya mereka memberitahu saya bahwa mereka telah memisahkan makanan yang mengandung pork dan yang tidak. Juga dengan proses pembuatannya. Padahal yang membuat itu adalah orang Vietnam dan Kamboja, yang jelas-jelas bukan beragama Islam. 

Tahun ini, hidangan makan malam disediakan oleh asrama. Senior Resident (semacam Pak RT di masing-masing blok) secara khusus mengatakan kepada saya di malam sebelum acara itu diadakan, "Dini, the menu tomorrow will be Turkish pide. It's halal, so don't worry." Duh, saya jadi terharu. Di acara itu mereka menyediakan sampanye dan anggur, tetapi tidak lupa juga menyediakan cola buat orang yang tidak minum alkohol seperti saya. 

Di tengah acara, ada seorang mahasiswa Cina yang bertanya, "Why do you always covering your head?" Saya berusaha menjelaskan sesederhana mungkin bahwa ini adalah nilai agama Islam yang saya pegang. Dia manggut-manggut. Entah mengerti atau tidak. Hehe. 

Di Indonesia, saya adalah mayoritas. Tetapi di sini, saya minoritas. Situasi seperti ini justru membuat saya belajar, nanti ketika kemabli ke Indonesia saya harus merangkul dan menghormati minoritas sebagaimana saya di sini dirangkul dan dihormati, bukan malah mengancam keberadaan mereka. 

Sunday, July 27, 2014

Alumnus Ramadhan

Malam 1 Syawal  1435 H.

Tahun ini tidak mudik seperti yang sudah-sudah. Saya memilih bertahan di Canberra karena sudah masuk minggu kuliah. Mungkin ini Idul Fitri paling sunyi yang pernah saya lewati. Entah di masa depan bagaimana. Jangan-jangan ini masih belum seberapa.

Di Australia tidak ada takbir keliling. Sahut-sahutan takbir dari masjid atau mushalla saja tidak ada. Jangankan takbiran, adzan pun tak pernah terdengar. Tapi saya tetap bersyukur, di acara buka puasa di rumah Mbak Fina dan Mas Ulil tadi, jamaah pria selepas maghrib mengumandangkan takbir selayaknya malam 1 Syawal meskipun sebentar. Takbiran yang singkat itu berhasil membuat saya terdiam. Dan sekarang saya menangis.

Saya memang pura-pura kuat.

Sejak kemarin saya menyebalkan. Cepat sekali emosi. Yang jadi korban adalah suami saya, orang yang paling sering saya ajak bicara. Tentang hal yang penting, dan terlebih tentang hal yang kurang penting. Dalam 3 hari, saya sudah 2 kali adu mulut dengannya. Akibat kekeraskepalaan saya. Akibat perilaku saya yang defensif. Akibat kesedihan yang gagal saya terjemahkan dengan baik.

Saya tahu ini “cuma” Idul Fitri. Saya jadi ingat bahwa Papa dan Mama sudah berkali-kali tidak pulang menemui orang tua mereka (ketika masih hidup) ketika Idul Fitri karena satu dan lain hal. Sekarang adalah giliran saya. Maka seharusnya saya tak perlu merasa sedih begitu rupa. Bukankah mengalami semua sendirian adalah salah satu inti merantau? Dan sebagai orang yang mengklaim dirinya perantau, tak seharusnya saya defensif yang akhirnya malah  terekspresi dalam sikap emosional tak tepat waktu dan tak tepat sasaran.

Jujur, selain kesedihan melewati Idul Fitri sendirian, ini juga merupakan saat terlemah saya.

Nilai semester lalu yang kurang memuaskan membuat saya gamang dalam melangkah, dan merasakan semua seperti dalam keadaan hampir koma. Setengah sadar. Kaki saya belum bisa berpijak di tanah dengan baik. Muncul pertanyaan-pertanyaan  dalam kepala. Apakah saya mampu? Dan lebih penting, apakah saya pantas?

Saya kembali ke Canberra dengan sebuah beban besar di pundak, bahwa saya harus bisa menyelesaikan studi dengan baik, sebagaimana rencana awal, 2 tahun dengan riset. Tapi semakin keras saya berpikir bagaimana caranya, semakin kencang satu jawaban bergema dalam kepala saya, “Lakukan yang terbaik yang kamu bisa!” Kalaupun saya tidak berhasil, ya sudahlah. Itu adalah proses yang harus saya terima.

Saya memang bukan ‘lulusan’ Ramadhan yang terbaik. Shalat tarawih tak lengkap. Tilawah kurang istiqomah. Tapi saat ini saya paham, bahwa Ramadhan yang terbaik adalah Ramadhan yang menghasilkan semangat untuk selalu berikhtiar memperbaiki diri di bulan-bulan setelahnya. Memperbaiki diri dalam ibadah, juga dalam studi.

Mungkin saya bukanlah “lulusan terbaik” Ramadhan. Tapi semoga saya bisa menjadi salah satu “alumnus yang baik” dari bulan Ramadhan.

Saya pamit dulu, mau menelepon suami untuk minta maaf :)

Semoga kita bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Taqaballahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Idul Fitri 1435 H.

Canberra, 27 Juli 2014


Saturday, May 31, 2014

Rindu di Tengah Hujan

 HUJAN DI BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan di bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon yang berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Djoko Damono, 1989

Canberra dibasahi hujan di akhir musim gugur © 2014 Dini Suryani

Mendung menggantung sejak pagi di langit Canberra. Tak kudengar suara hujan, tiba-tiba kulihat keluar jendela jalanan sudah basah. Mungkin langit Canberra tahu ini adalah saat yang tepat untuk merayakan kerinduan pada orang-orang terkasih yang sekarang tidak (atau belum) bisa ditemui.

Mungkin itu pula yang dirasakan hujan dalam Hujan di Bulan Juni milik Sapardi. Dia memilih untuk merahasiakan rasa rindu. Baginya mungkin sebaiknya rindu tidak ditampakkan, karena menampakkan rindu tak selalu menjadi sebaik-baiknya pilihan. Aku hanya bisa berharap semoga ia tetap tabah, seperti yang sudah-sudah.

***

Bagi perantau seperti aku, rindu layaknya oksigen yang dihirup paru-paru. Sebuah keharusan dan keniscayaan. Kurang rindu perantau lemah. Tak ada rindu perantau mati.

Meski sekarang hati perantau telah porak poranda disiksa rindu, namun rindu itu pula yang membuat perantau bertahan, menanti dengan tegar akan datangnya hari pertemuan.


Sayang, pekan depan aku pulang. 

Canberra, 1 Juni 2014