Malam 1 Syawal 1435 H.
Tahun ini tidak mudik seperti yang
sudah-sudah. Saya memilih bertahan di Canberra karena sudah masuk minggu
kuliah. Mungkin ini Idul Fitri paling sunyi yang pernah saya lewati. Entah di
masa depan bagaimana. Jangan-jangan ini masih belum seberapa.
Di Australia tidak ada takbir keliling.
Sahut-sahutan takbir dari masjid atau mushalla saja tidak ada. Jangankan
takbiran, adzan pun tak pernah terdengar. Tapi saya tetap bersyukur, di acara
buka puasa di rumah Mbak Fina dan Mas Ulil tadi, jamaah pria selepas maghrib
mengumandangkan takbir selayaknya malam 1 Syawal meskipun sebentar. Takbiran
yang singkat itu berhasil membuat saya terdiam. Dan sekarang saya menangis.
Saya memang pura-pura kuat.
Sejak kemarin saya menyebalkan. Cepat sekali
emosi. Yang jadi korban adalah suami saya, orang yang paling sering saya ajak
bicara. Tentang hal yang penting, dan terlebih tentang hal yang kurang penting.
Dalam 3 hari, saya sudah 2 kali adu mulut dengannya. Akibat kekeraskepalaan
saya. Akibat perilaku saya yang defensif. Akibat kesedihan yang gagal saya
terjemahkan dengan baik.
Saya tahu ini “cuma” Idul Fitri. Saya jadi
ingat bahwa Papa dan Mama sudah berkali-kali tidak pulang menemui orang tua
mereka (ketika masih hidup) ketika Idul Fitri karena satu dan lain hal.
Sekarang adalah giliran saya. Maka seharusnya saya tak perlu merasa sedih
begitu rupa. Bukankah mengalami semua sendirian adalah salah satu inti
merantau? Dan sebagai orang yang mengklaim dirinya perantau, tak seharusnya saya
defensif yang akhirnya malah terekspresi
dalam sikap emosional tak tepat waktu dan tak tepat sasaran.
Jujur, selain kesedihan melewati Idul Fitri
sendirian, ini juga merupakan saat terlemah saya.
Nilai semester lalu yang kurang memuaskan
membuat saya gamang dalam melangkah, dan merasakan semua seperti dalam keadaan
hampir koma. Setengah sadar. Kaki saya belum bisa berpijak di tanah dengan
baik. Muncul pertanyaan-pertanyaan dalam
kepala. Apakah saya mampu? Dan lebih penting, apakah saya pantas?
Saya kembali ke Canberra dengan sebuah
beban besar di pundak, bahwa saya harus bisa menyelesaikan studi dengan baik,
sebagaimana rencana awal, 2 tahun dengan riset. Tapi semakin keras saya
berpikir bagaimana caranya, semakin kencang satu jawaban bergema dalam kepala
saya, “Lakukan yang terbaik yang kamu bisa!” Kalaupun saya tidak berhasil, ya
sudahlah. Itu adalah proses yang harus saya terima.
Saya memang bukan ‘lulusan’ Ramadhan yang
terbaik. Shalat tarawih tak lengkap. Tilawah kurang istiqomah. Tapi saat ini
saya paham, bahwa Ramadhan yang terbaik adalah Ramadhan yang menghasilkan
semangat untuk selalu berikhtiar memperbaiki diri di bulan-bulan setelahnya.
Memperbaiki diri dalam ibadah, juga dalam studi.
Mungkin saya bukanlah “lulusan terbaik”
Ramadhan. Tapi semoga saya bisa menjadi salah satu “alumnus yang baik” dari
bulan Ramadhan.
Saya pamit dulu, mau menelepon suami untuk
minta maaf :)
Semoga kita bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Taqaballahu minna wa minkum. Mohon maaf
lahir dan batin. Selamat Idul Fitri 1435 H.
Canberra, 27 Juli 2014
No comments:
Post a Comment