Showing posts with label puisi. Show all posts
Showing posts with label puisi. Show all posts

Thursday, June 26, 2014

Jarak 2

Ketika ia hadir begitu nyata, kau berusaha untuk membunuhnya.

Saat ini ia telah mati suri.
Tapi jangan lupa ada seorang anak haram dari ibu bernama 'jarak', yang kau panggil dia 'abai'.

Dan 'abai' telah berhasil merobek-robek jiwamu yang terlanjur senang atas kematian 'jarak'.
'Abai' bahkan lebih kejam dari 'jarak'. Kau dekat satu sama lain tapi tak saling acuh.

Di antara kepingan hancurnya jiwamu atas perbuatan 'abai', jangan kau lupa bahwa 'jarak' hanya mati suri.

Sebentar lagi ia akan bangkit kembali.

Saturday, May 31, 2014

Rindu di Tengah Hujan

 HUJAN DI BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan di bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon yang berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Djoko Damono, 1989

Canberra dibasahi hujan di akhir musim gugur © 2014 Dini Suryani

Mendung menggantung sejak pagi di langit Canberra. Tak kudengar suara hujan, tiba-tiba kulihat keluar jendela jalanan sudah basah. Mungkin langit Canberra tahu ini adalah saat yang tepat untuk merayakan kerinduan pada orang-orang terkasih yang sekarang tidak (atau belum) bisa ditemui.

Mungkin itu pula yang dirasakan hujan dalam Hujan di Bulan Juni milik Sapardi. Dia memilih untuk merahasiakan rasa rindu. Baginya mungkin sebaiknya rindu tidak ditampakkan, karena menampakkan rindu tak selalu menjadi sebaik-baiknya pilihan. Aku hanya bisa berharap semoga ia tetap tabah, seperti yang sudah-sudah.

***

Bagi perantau seperti aku, rindu layaknya oksigen yang dihirup paru-paru. Sebuah keharusan dan keniscayaan. Kurang rindu perantau lemah. Tak ada rindu perantau mati.

Meski sekarang hati perantau telah porak poranda disiksa rindu, namun rindu itu pula yang membuat perantau bertahan, menanti dengan tegar akan datangnya hari pertemuan.


Sayang, pekan depan aku pulang. 

Canberra, 1 Juni 2014

Wednesday, March 19, 2014

Tanpa Nama

Ini tentangmu yang tak boleh disebut namanya
Yang setiap hari kuhanyutkan dalam sungai bernama ingatan
Dan setiap minggu kucemplungkan dalam danau bernama kenangan

Ini tentangmu yang tak boleh disebut namanya
Yang peninggalannya menghiasi rumah bernama kasih sayang
Yang ceritanya menggantung di langit-langit harapan

Tapi aku tak tahu apakah rasaku ini bernama apa
Yang kutahu, aku menikmati saat-saat bersamamu, meski kau pun tak menyadari aku ada

Tapi bukankah yang indah tidak selalu harus bernama?

:)

*untukmu yang selalu hidup dalam ingatanku

Wednesday, March 5, 2014

Senja

Aku dini hari
bukan penikmat senja.

Namun bulan Desember yang kelabu berhasil membuatku 
menunggu-nunggu senja

Karena senja berarti kedatanganmu
menyodorkan helm usang padaku, 
sambil mengucap salam dan bertanya, “Makan malam di mana kita?”

Aku dini hari 
bukan pecinta senja.

Namun aku melalui dua puluh sembilan senja 
dengan senyum lebar dan hati berdebar.

Karena senja berarti wajahmu
yang lelah namun bercahaya, sayu namun indah.

Dan aku semakin tidak menyukai senja di Canberra 
yang datang terlambat, menjelang waktu orang-orang mulai terlelap.

Karena senja ini aku tidak bisa melihatmu. Juga senja-senja berikutnya.

Dan senja hari ini, semakin sepi saja. Semakin dingin saja.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

P.S: Happy Third Monthiversary, My Dear :)

Lake Burley Griffin, Commonwealth Park Canberra © 2014 Dini Suryani

Tuesday, March 4, 2014

Aku Membenci Jalanan Jakarta

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang membuat ugal-ugalan para supir bus kota
Si adik kecil di pangkuan perempuan paruh baya hampir muntah
Entah karena bus berjalan serampangan
Atau karena bau keringat duapuluh tigapuluh orang bersatu padu

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang panjang sekaligus macet
Membuat argo berlari bagai kuda
Tapi taksi tak berkutik
Dompetku bergidik

Aku membenci jalanan Jakarta
Pejalan kaki menyebrang dengan jembatan
Dari belakang ada sepeda motor mengklakson
Minta diberi jalan
Entah siapa yang bodoh

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang pakai sepeda motor gesit menyalip
Yang pakai mobil mewah sombong dan jumawa
Lalu sepeda motor menyenggol mobil mewah
Supir mobil memaki: GOBLOK! 
Dan pengendara motor memacu gas kencang-kencang
Cih, siapa yang peduli?

Aku membenci jalanan Jakarta
Yang membuat orang berakal tuna pikir
Orang berhati tuna rasa

Tapi jalanan yang aku benci itu
Telah mengantar pulang ribuan hati yang lelah
Menuju persinggahan dan rumah
Yang setiap tapaknya menumpuk harapan para pengguna jalan
Untuk menuntaskan kerinduan

Canberra, 5 Maret 2014, pukul 01:13 dini hari