Showing posts with label love. Show all posts
Showing posts with label love. Show all posts

Tuesday, March 24, 2015

Iqra Mamak

Bingung ya kenapa saya nulis blog terus? Sama saya juga bingung. Hahaha. Padahal saya harus menyelesaikan proposal tesis sesegera mungkin. Tapi tidak apa-apalah. Saya sudah menisbatkan menulis blog sebagai bentuk pelarian. Escape strategy, istilah kerennya. Meski saya tidak pernah benar-benar bisa lari dari kewajiban tesis (ya iyalah!). 

Kali ini saya ingin bercerita soal ibu saya yang saya panggil mamak. Ya, Mamak dengan 'k' karena kami terpengaruh oleh dialek Kalimantan meski kami secara etnisitas masuk ke dalam kelompok suku Jawa.

Mamak ini orang yang sangat kuat menurut saya. Pendiriannya teguh, meski beliau tidak berpendidikan tinggi. Padahal saya juga tidak yakin apakah benar-benar ada korelasi antara tingkat pendidikan dan teguhnya pendirian. Hehehe. Beliau hanya lulus SMP. Memang mamak sempat duduk di bangku SMA, tetapi di usia 18, ketika kelas 3, beliau dinikahi oleh ayah yang kami panggil Papa. Lalu punya anak kami bertiga.

Mamak tidak bekerja. Sejak ia menikah, papa memintanya berhenti dan menjadi ibu rumah tangga. Tidak ada yang aneh di keluarga kami waktu itu. Kami cuma warga biasa yang beragama Islam KTP sebagaimana kebanyakan penduduk di Indonesia. Ya, kedua orang tua saya (waktu itu) tidak menjalankan sholat lima waktu dan tidak ada paksaan bagi kami anak-anaknya untuk melakukannya. Hanya saja, jika Ramadhan tiba, kami diwajibkan berpuasa, meski tidak diikuti dengan diwajibkan shalat termasuk shalat tarawih. Jika tidak berpuasa, papa akan memarahi kami.

Saya sendiri berpuasa dan shalat lima waktu juga shalat tarawih di bulan Ramadhan-selain takut sama Papa- juga karena sekolah memberikan saya dan murid lainnya Buku Evaluasi Ramadhan (iya betul, yang kuning itu) untuk diisi. Maka saya akan mengisi buku evaluasi itu sesuai dengan amalan ibadah saya. Saya cukup berprestasi secara akademik di sekolah. Tentu saya tidak menginginkan nilai saya jatuh hanya gegara buku evaluasi ramadhan yang bolong-bolong. Saya terlalu pengecut untuk berbohong, karena sejak kecil mamak sudah mengajari saya bahwa berbohong (meskipun itu white lies) tidak baik.

Selain tidak boleh berbohong, mamak juga memasukkan saya ke sekolah Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di sebuah mushala kecil di perumahan kami. Jadi kesimpulannya, saya puasa dan mengaji tetapi tidak shalat. Shalat hanya bulan Ramadhan karena buku evaluasi kuning itu. Hehehe. Saya sih senang-senang saja dimasukkan TPA, karena jadi memiliki kesempatan lain di luar sekolah untuk bertemu teman-teman.

Usia SD, logika dan nalar saya mulai berkembang. Saya sering bertanya pada diri sendiri mengapa papa dan mamak tidak pernah shalat, padahal mengaku Islam. Saya dan saudara pun tidak pernah dipaksa shalat, meski guru agama bilang kalau usia 7 tahun anak tidak mau shalat maka boleh dipukul. Tapi pertanyaan itu tidak pernah saya tanyakan langsung ke papa dan mamak. Saya takut dimarahi.

Hingga suatu hari saya melihat mamak memegang buku Iqra' milik saya yang sudah usang dan tak terpakai karena saya sudah mengaji Al Qur'an di TPA. Mamak mengaji a, ba, ta, tsa. Saya bertanya segera mengapa mamak melakukannya. Mamak bilang, "Mamak mau belajar baca huruf Arab. Mamak ga bisa. Dulu Mbah ga ngajarin." Ya, dulu Mbah Putri (dari pihak mamak) saya memang penganut kejawen sebelum almarhumah kembali pada Islam dan alhamdulillah sempat menunaikan haji. Mbah Kakung sendiri saya tidak tahu pasti apakah menjalankan agama Islam atau tidak. Saya hanya sempat mengenal beliau sebentar sebelum beliau berpulang.

Papa sendiri sebetulnya memiliki eksposur agama Islam yang lebih baik dibanding mamak. Tumbuh di keluarga bercorak NU dan sempat menjadi santri ketika beliau masih sekolah. Namun kesibukan kerja membuatnya sedikit demi sedikit meninggalkan shalat. Kecuali shalat jumat, tentu saja. Karenanya, papa juga tidak mengajari mama mengaji atau memaksa kami shalat.

Ternyata, Mamak bersama ibu-ibu satu komplek berinisiatif memanggil guru mengaji. Pak Munif, namanya. Belakangan, Pak Munif digantikan oleh guru perempuan bernama Bu Sri. Jadi ketika kami anak-anaknya pergi TPA di masjid pada sore hari, para ibu termasuk mamak juga belajar huruf hijaiyah. Saya masih ingat, mamak dengan perlahan menuliskan huruf-huruf yang ada di Iqra lusuh itu ke dalam buku tulis. Usia mamak mungkin saat itu 30-an. Belum cukup tua, memang. Tetapi mengingat mamak bukanlah orang dengan eksposur keislaman yang memadai tentu semangat itu mengagumkan. Beliau juga tidak malu meminta saya yang sudah lebih dulu bisa membaca Al Quran menjadi 'guru' nya di rumah. Sekedar mengulang bacaan supaya tidak lupa pada pengajian selanjutnya.

Ketika akhirnya saya harus pergi dari rumah karena kuliah S1 ke Yogyakarta (ini adalah kota yang membuat saya hijrah, saya ceritakan kapan-kapan), saya mendengar mamak mengaji Al Quran dengan indahnya di sela-sela mudik. Mamak juga sudah lama shalat lima waktu, juga melaksanakan amalan ibadah lainnya. Mamak mungkin lebih sering khatam daripada saya. Apalagi di bulan Ramadhan, semangatnya menjadi dua kali lipat. Saya bahagia, sekaligus malu. Hihihihi. Papa juga tidak mau kalah. Berangsur-angsur beliau kembali lagi shalat, termasuk mengerjakan shalat-shalat sunnah. Meski papa lebih jarang membaca Al Quran dibanding mamak. Saat ini Papa bahkan sudah shalat subuh di masjid secara rutin. Sebuah lompatan yang besar.

Satu keinginan mamak yang belum tercapai waktu itu. Pergi ke tanah suci. Entah untuk haji atau sekedar umrah bersama papa. Mamak mengatakan kepada saya pada sebuah momen mudik yang ke sekian, " Mamak sudah daftar haji sama papa, tapi masih lama berangkatnya. Mamak mau umrah dulu kali ya, takutnya ga ada umur sampe giliran haji dateng." Saya mengaminkan sungguh-sungguh doa mamak itu.


Alhamdulillah, Senin 23 Maret 2015 mamak dan papa berangkat umrah. Saya dan saudara-saudara sayangnya tidak ada yang bisa mengantar karena kami semua memang berada di kota yang berbeda dengan mamak dan papa. Untungnya suami saya berbaik hati ijin dari kantor untuk menemui keduanya di Bandara Soekarno Hatta, padahal saya tidak meminta. Mas Gery juga sempat mengatur sesi panggilan video via Google Hangouts agar saya bisa bicara dengan mereka sebelum berangkat. Cupcup wawaw buat Mas Gery. Hehehe.

Mamak dan Papa sebelum berangkat umrah :)
Mengingat mamak yang terbata-bata membaca a, ba, ta, tsa dari iqra yang lusuh pada malam itu, dan melihat mamak bisa mewujudkan mimpinya yang kesekian untuk melaksanakan umrah, sungguh membuat saya terharu. Good job, Mak. Semoga Allah senantiasa merahmati papa dan mamak, melancarkan ibadah umrahnya dan memberikan berkahNya juga keselamatan hingga nanti kembali ke Indonesia. Semoga Allah juga memberikan papa dan mamak kesempatan untuk melaksanakan haji nantinya.

Peristiwa Mamak (dan Papa) Pergi Umrah (yah sejenis Emak Naik Haji hehehe), ini membuat saya tersadar. Bahwa pernikahan yang berhasil bukanlah pernikahan yang diberikan banyak rezeki (duniawi) atau banyak anak. Tetapi pernikahan yang berhasil dan diberkahi oleh Allah adalah pernikahan yang menjadikan suami dan istri menjadi orang yang lebih berkualitas, terutama di hadapanNya. Semoga semangat untuk menjadi orang yang lebih baik ini bisa kami teladani. Aamiin.

Sunday, March 1, 2015

Lebih dari Setahun

Sudah lebih dari setahun, Mas. Di antara 365 hari-tanpamu bagiku dan tanpaku bagimu, adakah kita belajar sesuatu? Selain air mata yang mengalir deras dan sesak di dada akibat rindu.

Sudah lebih dari setahun, Mas. Di antara 365 hari itu, ada saja di antara kita yang merengek meminta bertemu. Terutama aku. Lalu kau dengan gengsi kelaki-lakianmu, menolak untuk menangis
hanya berkata, "Ya sudah, pulang saja. Tak usah lanjutkan pendidikanmu". Aku malah menangis lebih keras. Kau jahat, Mas. Tapi aku tahu, bukan itu sebenar maksudmu. 

Sudah lebih dari setahun, Mas. Kadang kita bertengkar, mungkin malah sering (ah sudahlah, pokoknya ada saja). Yang berbeda dari pasangan lain, meski tak bicara akibat bertengkar, semesta masih akan mempertemukan, dalam satu rumah, dalam satu kamar, dalam satu ranjang. 

Kita? Tak akan dipertemukan jika kita tak membuka layar. Meski sudah kangen tapi bila gengsi merajai, bisa dua hari tidak bertukar sapa. Bahaya? Tentu saja. Tapi di antara dua hari itu, ketahuilah, Mas, aku menangis terus-terusan, makan tak enak tidur tak nyenyak. Meski begitu, tetap saja aku menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dulu. Ah, mungkin ini masokis gaya baru. Haha. Kau, meski gengsi kelaki-lakianmu tetap tinggi, tidak pernah tahan untuk tidak bicara denganku. Lalu kau mengirim pesan singkat padaku, meminta sesi panggilan video sambil berkata, "Masih marah ya? Maafkan aku ya". Padahal jelas-jelas aku yang salah. Aku ini sungguh perempuan beruntung yang kurang ajar :p

Sudah lebih dari setahun, Mas. Perpisahan mengajarkan kita banyak hal. Mungkin terutama bagiku. Melalui perpisahan aku justru belajar bahwa kita benar-benar saling memiliki. Melalui rindu yang tumbuh, cemburu yang muncul atau marah tak jelas yang secara periodik mampir. Melalui perpisahan aku juga belajar bahwa meski kita saling memiliki, kita tidak boleh lupa bahwa kita adalah dua kepala yang berbeda, dengan keinginan yang berbeda. Bahwa berpasangan tidak selayaknya mematikan salah satu di antara kita dengan dalih "bersatu atas nama cinta". Cinta buat kita justru haruslah menghargai masing-masing dari kita, dengan seluruh perbedaan yang ada. Karena kita adalah dua orang yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. 

Sudah lebih dari setahun, Mas. Saat itu hampir tiba. Sabar ya. Sampai kita bertemu lagi :) 

Canberra, 1 Maret 2015


Wednesday, December 3, 2014

Happy

D : Why did you let me leave you, just after 29 days of our marriage, for study in Australia?
G : Because I know that pursuing higher education has become your dream for a long time.
      And seeing you happy makes me happy.
D : *berkaca-kaca*
      But isn't it hard to live separately like this?
G : The good thing is... we learn to be more patient persons :)

Recalling this conversation reminds me that I am here to chase my dream, to be happy, whatever the results are. Thank's heaps, you, for teaching me about being happy and giving me so much happiness.

I LOVE YOU, to the moon back and forth 999,999 million times.