Kau selalu merasa bahwa mudah lupa adalah
sebuah kelebihan. Secara tidak sengaja kau lupa pada hal-hal yang memang sudah semestinya tak perlu kau ingat. Lalu menjadikan hal itu tak berkesan di matamu. Tak ada
artinya di hatimu.
Tapi di tengah kemudahan lupa, kau harus
tetap ingat, bahwa ingatan memiliki aturannya sendiri. Dengan egoisnya dia bisa juga memilih kenangan dan peristiwa masa lalu untuk diingat dengan intepretasinya sendiri, tanpa
mau berkompromi denganmu. Ia melupakan hal yang ingin kau ingat, dan mengingat
hal yang ingin kau lupakan.
Dan meskipun kau betul-betul mudah lupa, kau sering lengah. Bahwa melupakan bukan berarti hilang ingatan. Selalu saja
ada serpihan kenangan tinggal di sudut-sudut kepala. Selalu saja ada potongan
masa lalu yang menolak beranjak dari lapis terdalam perasaan. Di sela-sela
perjalananmu, serpihan kenangan dan potongan masa lalu seringkali mampir tanpa
mempertimbangkan situasi hati.
Kau merasa kenangan dan masa lalu itu terus
menyakitimu. Mengobrak-abrik hatimu. Menggarami lukamu yang menganga. Lalu kau memutuskan
untuk menyerah. Kau memasrahkan semuanya pada ingatanmu yang egois itu.
Di tengah-tengah kepasrahanmu, perlahan kau
menyadari, bahwa kenangan dan masa lalu itu bagian dari dirimu. Merekalah yang
mengukir jiwamu. Menempa hatimu. Mengokohkan perasaanmu. Membentuk dirimu.
Kemudian kau memutuskan untuk berjalan ke
depan. Tetapi dengan menggenggam kenangan di tangan kiri dan mendekap masa lalu
di tangan kanan. Airmata yang sejak tadi kau kendalikan, kali ini tidak bisa menahan
dirinya untuk merayakan kepasrahan ini bersamamu.
No comments:
Post a Comment