April 1992-1998
Apa yang paling identik dengan 21 April?
Hari Kartini tentu saja. Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, beberapa
sekolah menyunnahkan (bukan mewajibkan hihi) kami murid-murid perempuan memakai
baju daerah. Apapun itu. Bisa kebaya, baju bodo, baju kurung. Terserah, yang
penting baju daerah. Saya? Seingat saya, tidak setiap tahun saya memakainya.
Bukan karena apa-apa, tetapi mama saya tidak akan mau repot-repot menyewakan
saya dan kakak baju daerah dari salon karena harganya mahal.
Saya bingung waktu itu. Mengapa mama begitu
‘pelit’. Kami bukan dari keluarga yang kurang mampu. Alhamdulillah semua
berkecukupan. Tapi mama begitu ketat dalam memilih dan memilah, kebutuhan mana
yang prioritas dan bukan prioritas. Tentu menyewa baju kebaya setiap Hari
Kartini bukan termasuk kebutuhan yang prioritas. Ada rasa iri saya pada teman-teman yang orang tuanya niat mendandani anaknya dengan kebaya dan baju daerah warna-warni lengkap dengan sanggul dan sepatu hak tingginya.
Saya ingat betul, ketika
kalender di ruang makan yang semula adalah kalender 1997 diganti menjadi 1998
karena pergantian tahun, saya jadi sulit tidur. Setiap hari saya melihat
kalender itu. Bukan melihat tanggal atau bulannya, tetapi melihat gambar model
yang menghiasi di setiap halamannya. Gambar model wanita cantik dengan baju
daerah dari 12 daerah di seluruh Indonesia. Saya paling tertarik dengan halaman
bulan Januari, karena Diah Permatasari (iya Diah yang jadi Si Manis Jembatan
Ancol :D) memakai baju adat Aceh. Alasan
saya sederhana saja, baju adat Aceh yang saya lihat waktu itu memakai celana
panjang, berbeda dengan baju adat lain yang harus memakai rok sempit-sempit.
Pasti susah jalannya, pikir saya waktu itu.
Hari berganti, bulan terlewati. Sudah bulan
April, tak ada tanda Mama akan menyewakan baju daerah padahal sebentar lagi
Hari Kartini. Saya tidak berani bertanya, karena sudah menduga bahwa jawabannya
pasti tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tapi saya tidak pernah bosan
melihat baju adat Aceh di bulan Januari, dan membayangkan apabila saya bisa
memakainya di Hari Kartini di sekolah. Membayangkannya saja waktu itu seingat
saya, saya cukup merasa bahagia. Sederhana sekali ya? :D
Maret- April 2005.
Akhir kelas 3 SMA. Bulan depan Hari
Kartini, tapi saya sudah tak bernafsu lagi soal kebaya-kebaya seperti waktu
jaman SD dulu, meski tetap ada keinginan memakai kebaya yang "niat". Saya lebih fokus ke ujian akhir. Nilai
tryout yang kurang begitu memuaskan membuat saya tak lagi pusing soal kebaya di
Hari Kartini. Hingga wali kelas menunjuk saya menjadi wakil kelas untuk ikut
lomba pidato tentang perempuan di Hari Kartini. Saya tak bisa menolak, dan yang
menjengkelkan (atau menyenangkan) peserta lomba pidato diwajibkan memakai baju
daerah lengkap. Sepanjang pulang ke rumah saya sibuk berpikir, apa yang harus
saya katakan pada Mama mengenai ini? Masih sebulan lagi, sih.
Sampai di rumah, Mama menceritakan rencana
keluarga untuk belanja di Samarinda. Kota kecil Sangatta memang kurang pas buat
belanja-belanja. Selain harganya mahal, juga tak banyak pilihan. Keluarga kami
memang biasanya setiap bulan ke Samarinda untuk membeli kebutuhan sekunder
(seperti perabot rumah tangga dan printilan lainnya). Sesampai di Matahari
Dept. Store Samarinda, saya melihat deretan kebaya encim yang simple tetapi manis. Saya
beranikan diri bertanya pada Mama, apakah ada kesempatan saya bisa memilikinya,
sambil menceritakan soal lomba itu. Tak lupa saya sisipkan kalimat "pembujuk", kalo
tidak dibelikan ya tidak apa, nanti bisa pinjam saja baju kebaya milik teman.
Mama diam, tapi beliau mulai memilih-milih baju kebaya di deretan itu (saya menjerit dalam hati, yesss!) Terpilihlah
sehelai kebaya encim berwarna putih untuk di bawa ke kasir. Tak disangka, Mama juga berencana membawa
saya berpagi-pagi ke salon, supaya saya didandani dan dipasangi sanggul.
Padahal saya tak memintanya. Saya lebih sibuk mempersiapkan naskah pidato saya
soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa banyak perempuan di
Indonesia.
Hari H lomba pidato, saya berdiri depan tim juri, mengemukakan
pidato saya soal KDRT pada perempuan di Indonesia. Saya sibuk casciscus soal statistik kekerasan, dan menganalisa apa sebabnya. Tuntutan sosial bahwa perempuan harus
cepat menikah adalah yang paling saya ingat (maklum udah tua, ga inget semua
hihihi). Akhirnya perempuan cenderung terburu-buru, tanpa tahu mengapa ia
menikah dan apa sebetulnya yang ingin didapat dari pernikahan itu. Aturan hukum
pun tak banyak yang paham. Sehingga ketika terjadi kekerasan, maka dianggap
sebagai sebuah kewajaran. Kewajaran bahwa sudah sepatutnya suami “mendidik”
istri, dengan cara apapun, termasuk dikerasi baik secara fisik maupun verbal.
Saya terlena dalam pidato. Setelah pidato selesai terjadi
diskusi yang seru dengan tim juri (jadi ini bukan cuma lomba pidato searah
gitu, tim juri bisa bertanya lebih lanjut atau sekedar konfirmasi pada peserta
mengenai topik yang diangkat). Saya lupa dengan Diah Permatasari si pemakai
baju Aceh. Saya lupa dengan kebaya. Yang saya ingat, mimpi saya akan kebaya,
sudah tergantikan oleh keinginan: ketika saya akan menikah, saya harus selesai
memahami aturan hukum yang terkait dengan pernikahan seperti UU No. 1/ 1974
tentang pernikahan dan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Alhamdulillah, keinginan itu tercapai, sehingga saya menikah tidak dengan kepala "kosong". Insya Allah saya memahami hak - kewajiban istri dan suami. Juga apa dan bagaimana sebetulnya yang disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga menurut UU itu. Didampingi dengan bacaan saya yang sedikit soal rumah tangga dalam Islam sejak kuliah, insya Allah saya siap menapaki jenjang pernikahan.
21 April 2014
Di Canberra tak ada perayaan Hari Kartini.
Tapi cerita soal kebaya di Hari Kartini selalu saya panggil kembali dalam ingatan setiap hari ini. Melalui rentetan kejadian soal kebaya dan Hari Kartini itu, Mama secara tidak langsung telah memberi saya pelajaran, bahwa
isi harus sama baiknya dengan bungkus. Dandanan cantik kebaya harus disertai
dengan pemahaman apa yang seharusnya perempuan pahami mengenai dirinya. Tidak sekedar
menjadi pengikut, tapi ternyata miskin pemahaman.
Selamat Hari Kartini. Semoga tidak berhenti
pada kebaya, sanggul, dan sepatu hak tinggi :)
No comments:
Post a Comment